JAKARTA, TEVRI– Richard William, Ketua Umum Pengacara GAPTA sekaligus pendiri Forum Wartawan Jaya Indonesia (FWJI), dalam kapasitasnya sebagai kuasa hukum Sugiono, memaparkan dugaan pembangkangan konstitusi terkait Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 111/Pid.Pra/2024/ PN.Jkt.Sel tanggal 21 November 2024. Penetapan tersebut menyatakan Sugiono sebagai tersangka dalam perkara dugaan laporan polisi ganda atau rekayasa.
Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Richard menjelaskan bahwa penetapan tersebut diduga melanggar prinsip dasar kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 48/2009).
“Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara bertanggung jawab atas putusannya, yang harus didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat serta benar,” tegas Richard.Lebih lanjut, Richard menilai bahwa Penetapan Nomor 111/Pid.Pra/2024/PN.Jkt.Sel tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Hal ini bertentangan dengan ketentuan penetapan hakim (beschikking), yang seharusnya merupakan keputusan pengadilan atas perkara permohonan (volunter).
“Penetapan ini tidak memenuhi kriteria hukum yang berlaku, sehingga menjadi bagian dari gugatan perbuatan melawan hukum yang kami ajukan. Kami menduga adanya rekayasa laporan polisi ganda yang digunakan untuk menetapkan Sugiono sebagai tersangka,” ujar Richard.
Permohonan ini merupakan kepentingan sepihak dari pemohon yang tidak mengandung sengketa dengan pihak lain, misalnya penetapan dalam perkara dispensasi nikah, izin nikah, wali adhal, poligami, perwalian, itsbat nikah, dan sebagainya. Ciri khas dari perkara volunter atau permohonan ini adalah sebagai berikut:1)masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak saja (for the benefit of one party only), 2) permasalahan yang dimohon penyesuaian kepada pengadilan pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain (without dispute or differences with another party): 3) tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat mutlak satu pihak (ex-parte).
Jenis-jenis perkara volunter atau permohonan yang dapat diajukan di pengadilan guna mendapatkan penetapan hakim, diantaranya seperti: 1) permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa/ belum berumur 18 tahun, 2) permohonan pengangkatan pengampuan bagi orang dewasa yang kurang ingatannya atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya lagi, misalnya pikun, 3) permohonan pewarganegaraan (naturalisasi): 4) permohonan dispensasi nikah bagi pria yang belum berumur 19 tahun dan bagi wanita yang belum mencapai umur 16 tahun: 5) permohonan izin nikah bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun, 6) permohonan pembatalan perkawinan, 7) permohonan pengangkatan anak: 8) permohonan untuk memperbaiki kesalahan dalam akta catatan sipil, permohonan akta kelahiran, akta kematian, 9) permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang wasit oleh karena para pihak tidak bisa atau tidak bersedia untuk menunjuk wasit, 10) permohonan agar seseorang dinyatakan dalam keadaan tidak hadir (sesuai Pasal 463 KUH Perdata) atau dinyatakan meninggal dunia (sesuai Pasal 457 KUH Perdata): 11) permohonan agar ditetapkan sebagai wali/kuasa untuk menjual harta warisan.
Sementara itu jenis-jenis perkara volunter atau permohonan yang dilarang diajukan di pengadilan, diantaranya seperti: 1) permohonan untuk menetapkan status kepemilikan atas suatu benda, baik benda bergerak ataupun tidak bergerak. Status kepemilikan suatu benda diajukan dalam bentuk gugatan, 2) permohonan untuk menentukan status keahli warisan seseorang. Status keahli warisan seseorang ditentukan dalam suatu gugatan, 3) permohonan untuk menyatakan suatu dokumen atau sebuah akta adalah sah. Menyatakan suatu dokumen atau sebuah akta adalah sah harus dalam bentuk gugatan. Suatu perkara volunter atau permohonan tersebut di atas dikenal sebagai pengadilan pura-pura/tidak sesungguhnya, oleh karena itu produk hukum yang dihasilkan hanya berupa penetapan (beschikking).
Hakim dalam hal ini hanya menggunakan kata “menetapkan” untuk memutuskan perkara yang diajukan oleh para pemohon. Bahwa Penetapan hakim merupakan jurisdiction valuntaria yang berarti bukan peradilan yang sesungguhnya, karena pada penetapan hanya ada pemohon tidak ada lawan hukum. Di dalam penetapan, hakim tidak menggunakan kata “mengadili”, namun cukup dengan menggunakan kata ”menetapkan”. Jadi menurut Richard penetapan nomor 111/Pid.Pra/2024/PN.Jkt.Sel, tanggal 21 November 2024 jelas dipaksakan walaupun sama sekali tidak ada dasar hukumnya.,dan ini adalah salah satu wujud adanya Pembangkangan Konstitusi. Karena hakim berwenang membuat undang undang sendiri dengan meniadakan Presiden dan DPR RI yang seharusnya berwenang membuat produk hukum undang undang.Richard menilai kalau cara bar bar seperti ini terus diterapkan dan Kepolisian yang seharusnya bertindak untuk menghentikan tapi justeru terlibat didalamnya dan Pengawasan Mahkamah Agung RI lalai dalam fungsinya.
Maka dalam hal ini Kapolri dan Kabawas Mahkamah Agung RI-lah yang juga harus bertanggung jawab terkait adanya Pembangkangan Konstitusi ini. Dan wajar bila ikut dituntut Satu Triliun Rupiah sebagai kompensasi atas adanya Peristiwa Hukum yang sangat memalukan dan menciderai Konstitusi serta Penggugat.
Menurut Richard hal serupa pernah terjadi di Pengadilan Negeri Sampit Kalimantan Tengah dalam Perkara Nomor 57/Pdt.G/2016/PN Spt tanggal 2 Pebruari 2017, yang dinyatakan Batal Demi Hukum oleh Pengadilan Tinggi Palangkaraya Kalimantan Tengah sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukumnya,.Majelis Hakim pada tingkat Banding dalam Perkara Nomor 29/PDT/PT.PLK tanggal 2 Agustus 2017, menilai berdasarkan undang undang hukum acara. Pelarangan terhadap Kuasa dari GAPTA sebagaimana yang tertuang dalam Penetapan dalam Perkara Nomor 57/Pdt.G/2016/PN Spt tanggal 2 Pebruari 2017, elah menyalahi hukum acara. dan oleh karenanya Batal Demi Hukum dengan sendirinya.”Pungkas Richard ( tev )