Jakarta,Tevri-tv.com, Banjir rob yang melanda sejumlah wilayah di Kepulauan Seribu dan pesisir Jakarta,kembali memperlihatkan kerentanan kawasan pantai utara terhadap fenomena pasang maksimum air laut. Kejadian terbaru yang berlangsung pada 23 November 2025, menunjukkan bahwa fenomena banjir rob bukan peristiwa insidental, melainkan pola berulang yang semakin intens ketika bertemu fase bulan baru dan peningkatan permukaan laut.Genangan tersebut menghambat aktivitas warga, mengganggu kegiatan belanja harian, mematikan aktivitas ekonomi nelayan, dan memutuskan akses warga terhadap fasilitas publik.
Bagi para ahli, pejabat negara, dunia industri, serta jutaan masyarakat pesisir, banjir rob ini sesungguhnya adalah “sirene darurat” yang meminta negara mempercepat pembangunan sistem perlindungan pesisir. Demikian dinyatakan oleh pengamat maritim DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., S.H., M.H., M.Mar. Ditegaskan lagi olehnya bahwa situasi ini harus dipandang sebagai momentum untuk mempercepat realisasi Proyek Strategis Nasional (PSN) Giant Sea Wall.
“Penurunan muka tanah di wilayah Jakarta mencapai hingga 25 sentimeter per tahun, menjadikannya salah satu wilayah pesisir yang mengalami penurunan tanah tercepat di dunia. Kenaikan permukaan air laut karena perubahan iklim global kemudian mengunci kondisi darurat ini menjadi bencana ekologis struktural. Ketika darat turun dan laut naik secara bersamaan, kita tidak hanya kehilangan ruang hidup, juga kita kehilangan masa depan,” tegas Capt. Hakeng, di Jakarta, 24 November 2025.
Lebih lanjut pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC) ini menambahkan, bahwa banjir rob yang terus terjadi itu bukan hanya menyebabkan kerugian ekonomi harian, tetapi juga memicu masalah kesehatan jangka panjang. Kondisi lembap berkepanjangan membuka jalan bagi penyebaran demam berdarah, tifus, penyakit kulit, dan infeksi saluran pernapasan. “Bencana ekologis seperti ini menghasilkan bencana kesehatan publik,” ujar Capt. Hakeng.
Diingatkan pula olehnya bahwa masyarakat pesisir tidak boleh dipaksa hidup dalam ritual bertahan dan mengungsi, selama negara hanya mengandalkan pompa air, perbaikan drainase, dan penyedotan sementara setiap kali pasang maksimum terjadi.“Dari itu, pembangunan Giant Sea Wall menjadi kebutuhan yang mendesak, bukan konsep jangka panjang yang boleh ditunda,” tegas Capt. Hakeng.
Ia juga mengimbuhkan bahwa proyek tanggul laut raksasa sepanjang 500–535 kilometer dari Tangerang hingga Gresik itu dirancang untuk menjadi sistem pertahanan ekologis dan ekonomi Jawa bagian utara. “Termasuk melindungi Jakarta, kawasan industri kunci, pelabuhan internasional, jalur logistik nasional, dan lahan pangan Jawa. Proyek ini juga diarahkan untuk menyelamatkan sekitar 50 juta penduduk dari ancaman banjir rob dan intrusi air laut,” kata Capt. Hakeng.
Menurut Capt. Hakeng, Giant Sea Wall bukan proyek mewah, ini adalah benteng terakhir kita. “Bila kita gagal membangun, kita akan memanen kerugian permanen, bukan hanya kerugian sementara,”ujarnya seraya mengingatkan bahwa pemerintah telah menyiapkan skema pendanaan Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dan pembentukan Badan Otorita Pengelola Pantai Utara Jawa, serta rencana pelibatan investor internasional. Estimasi biaya proyek ini mencapai US$ 80 miliar atau sekitar Rp 1.298 triliun. “Angka yang ini sangat kecil bila dibandingkan potensi kerugian ekonomi jika tanggul tidak dibangun,” imbuh Capt. Hakeng .
Percepatan pembangunan Giant Sea Wall, menurut Capt. Hakeng, kini memiliki dukungan politik tertinggi. Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan proyek ini sebagai prioritas pembangunan nasional, termasuk arahan untuk memastikan pengelolaan tata kelola air tanah, perencanaan ruang pesisir, dan sistem pompa raksasa terintegrasi sebagai bagian dari grand design pertahanan pesisir Jawa. “Bagi para pemangku kepentingan, penegasan Presiden Prabowo ini merupakan penanda bahwa era diskusi telah selesai, maka era eksekusi harus dimulai,” ujar Capt. Hakeng.
Ditambahkan olehnya bahwa desakan percepatan pembangunan Giant Sea Wall juga bukan hanya datang dari akademisi dan pemerintah. Keluhan paling keras justru berasal dari masyarakat Jakarta Utara, yang selama bertahun-tahun membayar pajak, tetapi masih harus menghadapi banjir rob berulang. Dalam sejumlah forum warga di kawasan Muara Baru, Pluit, Penjaringan, dan Marunda, keluhan yang muncul hampir selalu sama: sudah membayar kewajiban sebagai warga negara, termasuk pajak bumi dan bangunan, tetapi masih berenang di rumah sendiri. “Keluhan ini mencerminkan bentuk frustrasi sosial yang nyata. Kawasan pesisir utara Jakarta adalah salah satu kontributor pajak terbesar, baik dari sektor permukiman, industri, pelabuhan, hingga logistik,” tegas Capt. Hakeng.
Dari sudut pandang keadilan fiskal, tambah Capt. Hakeng, masyarakat pesisir Jakarta juga berhak mendapatkan perlindungan setara dengan kontribusi ekonomi yang telah mereka berikan. “Oleh karena itu, pembangunan Giant Sea Wall bukan hanya isu teknis, tetapi isu keadilan negara terhadap rakyatnya. Jika negara meminta warganya membayar pajak, maka negara wajib melindungi wilayah hidup mereka. Giant Sea Wall adalah bentuk perlindungan itu,” ujarnya.
Dipaparkan lebih jauh olehnya bahwa Indonesia bukan negara pertama yang berhadapan dengan ancaman semacam ini. Belanda berhasil melindungi wilayah rendahnya melalui Delta Works, Korea Selatan melalui Saemangeum Project, dan Jepang melalui Great Seawall pascatsunami. “Ketiga negara tersebut tidak menunggu bencana menyapu wilayah pesisir, mereka membangun terlebih dahulu sebagai representasi tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia seharusnya tidak hanya mengikuti, tetapi memimpin dalam inovasi pertahanan pesisir,” tutur Capt. Hakeng.
Diingatkan pula olehnya bahwa apa yang terjadi hari ini harus dipahami sebagai peringatan terakhir,sebelum bencana ekologis skala besar terjadi. “Kita tidak sedang mempertimbangkan apakah membangun Giant Sea Wall itu perlu. Kita sedang memutuskan apakah kita mau selamat atau tidak,” tegas Capt. Hakeng seraya mengimbuhkan bahwa Presiden Prabowo sudah memberikan keputusan politik, masyarakat sudah menunaikan kewajibannya sebagai wajib pajak, dan ancaman sudah terjadi, maka yang diperlukan sekarang hanyalah percepatan eksekusi.
Dengan banjir rob yang kembali menghantam pesisir Jakarta dan Kepulauan Seribu, dan dengan tangisan protes masyarakat pesisir yang semakin lantang, pesan hari ini tidak bisa lebih jelas: percepatan pembangunan Giant Sea Wall bukan sekadar opsi kebijakan — melainkan kebutuhan mendesak demi menyelamatkan rakyat, ekonomi nasional, dan keberlanjutan negara. (*)













