Mabado, Tevri-tv.com,
LSM Independen Nasionalis Anti Korupsi (INAKOR) Sulawesi Utara menyampaikan sikap keras dan mendalam terkait tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap para terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi dana hibah Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara yang dialokasikan kepada GMIM. Tuntutan 1 tahun 6 bulan yang dijatuhkan oleh JPU dinilai tidak mencerminkan bobot kesalahan, dampak kerugian negara, dan tidak sejalan dengan filosofi pemberantasan korupsi di Indonesia.
Di bawah ini adalah analisis hukum lengkap yang menjadi dasar kritik INAKOR.
I. ANALISIS ATAS DAKWAAN PRIMER PASAL 2 UU TIPIKOR
Pasal 2 ayat (1) UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001 menyatakan:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara…”
Unsur penting:
1. Melawan hukum,
2. Memperkaya diri sendiri / orang lain / korporasi,
3. Dapat merugikan keuangan negara.
Catatan penting:
Unsur “memperkaya orang lain” tidak harus berarti keuntungan pribadi; yang diperkaya bisa siapa saja, termasuk organisasi atau entitas penerima dana.
Unsur “dapat merugikan” tidak harus kerugian aktual, cukup potensi kerugian yang terukur oleh auditor negara.
Karena itu, ketika JPU membebaskan Pasal 2 secara total, INAKOR menilai penalaran hukum tersebut layak dipertanyakan karena:
– Apabila dana hibah digunakan tidak sesuai mekanisme, tidak sesuai Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD), atau disalurkan tanpa prosedur, maka unsur “melawan hukum” terpenuhi.
-Jika dana tersebut menimbulkan kerugian negara (sesuai pernyataan JPU), maka unsur Pasal 2 sebenarnya telah masuk kategori “memperkaya orang lain secara melawan hukum”.
INAKOR tidak menuduh — INAKOR hanya menegaskan bahwa parameter Pasal 2 seharusnya diuji lebih mendalam, bukan langsung dikesampingkan.
II. ANALISIS DASAR PEMIDANAAN PASAL 3
JPU memilih menuntut para terdakwa dengan Pasal 3 UU Tipikor:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang dapat merugikan keuangan negara…”
Unsur:
1. Menyalahgunakan kewenangan/kesempatan/sarana,
2. Menguntungkan diri sendiri / orang lain / korporasi,
3. Merugikan keuangan negara.
Pasal 3 memiliki ancaman:
Pidana penjara 1–15 tahun.
JPU telah menyimpulkan bahwa:
Ada penyalahgunaan kewenangan,
Ada kerugian negara, Ada pihak yang diuntungkan secara tidak prosedural. Jika seluruh unsur Pasal 3 terbukti, maka logis bahwa tuntutan tidak boleh berada pada batas minimal, apalagi bila terdapat unsur memberatkan.
III. KETIDAKKONSISTENAN DALAM TUNTUTAN JPU
INAKOR menyoroti bagian paling kontradiktif:
JPU menyatakan dalam tuntutannya bahwa unsur pemberat adalah:
1. Para terdakwa tidak mendukung program pemberantasan korupsi,
2. Perbuatan mereka menyebabkan kerugian keuangan negara,
3. Peristiwa terjadi dalam lingkungan birokrasi dan institusi publik.
Namun JPU justru memilih: menuntut pada batas minimal ancaman Pasal 3 (18 bulan).
Secara teori hukum pidana:
Ketika unsur pemberat dominan, tuntutan biasanya dinaikkan mendekati batas maksimal, atau setidaknya jauh dari batas minimal.
Ketika ada kerugian negara, beban moral hukum lebih berat, karena korupsi adalah extraordinary crime.
Ketua INAKOR Rolly Wenas menegaskan:
“Jika kerugian negara dinyatakan terbukti, maka tuntutan seharusnya tidak berada pada titik paling bawah. Ini bukan sekadar soal prosedur, tetapi soal konsistensi moral dan integritas institusi penuntutan.”
IV. DOKTRIN PERTANGGUNGJAWABAN DALAM KASUS KORUPSI
Mahkamah Agung dalam banyak putusan menegaskan:
Penyalahgunaan kewenangan tetap merupakan tindak pidana korupsi meskipun tidak ada keuntungan pribadi.
Penggunaan dana publik tanpa dasar hukum yang benar tetap dapat digolongkan sebagai tindakan yang merugikan keuangan negara.
Ancaman pidana harus mencerminkan tingkat kesalahan, dampak sosial, dan efek jera.
Dengan demikian, INAKOR menilai bahwa:
Tuntutan JPU yang minimal justru berpotensi tidak mencerminkan rasa keadilan, sebagaimana doktrin-doktrin hukum tersebut.
V. DESAKAN INAKOR KEPADA MAJELIS HAKIM
Dengan tetap menghormati independensi peradilan, INAKOR mendesak:
1. Menjatuhkan pidana yang proporsional
Majelis hakim diharapkan menerapkan hukuman sesuai rentang Pasal 3 yang mendekati batas yang layak, bukan minimal, dengan mempertimbangkan:
kerugian negara, dampak sosial,
penyalahgunaan kewenangan,
efek jera.
2. Mewajibkan pengembalian kerugian negara (Pasal 18 UU Tipikor)
Pasal 18 UU Tipikor membolehkan:
pembayaran uang pengganti kerugian negara, penyitaan aset jika uang pengganti tidak dibayar. Ini adalah instrumen penting agar negara tidak dirugikan dua kali.
3. Menjadikan kasus ini preseden positif bagi penuntutan di kemudian hari
Agar tuntutan dalam kasus korupsi tidak menjadi formalitas, tetapi representasi keseriusan negara menindak korupsi.
VI. KOMITMEN INAKOR
INAKOR berkomitmen untuk:
mengawal proses sampai putusan akhir,
mengawasi konsistensi aparat,
memastikan kerugian negara dipulihkan,
menjaga objektivitas dan tidak berpihak pada siapa pun kecuali kepentingan publik.
Rolly Wenas menutup dengan pernyataan:
“Korupsi adalah kejahatan luar biasa. Ketika kerugian negara ada dan penyalahgunaan kewenangan terbukti, maka penegakan hukumnya juga harus luar biasa. INAKOR akan mengawal perkara ini sampai titik terakhir demi kepentingan publik dan keuangan negara.”













