“Dibahas di Pengadilan, Kuasa Hukum Soroti Potensi Kesalahan Ketik dalam Putusan”
“Tanggapan Majelis Hakim: Kesalahan Ketik Wajar, Namun Kuasa Hukum Mempertanyakan Keakuratan Putusan”
TEVRI,Jakarta – Telah dilaksanakan proses mediasi perdamaian terkait perkara Perbuatan Melawan Hukum dengan nomor perkara 564/Pdt.G/2024/PN Jakarta Pusat. Mediasi ini berlangsung pada Kamis, 17 Oktober 2024, dan dihadiri oleh para pihak yang terlibat dalam perkara tersebut.
Penggugat, Dr. H. Slamet Effendy, M.Kes, diwakili oleh kuasa hukumnya dari Firma Hukum Richard William and Partner, mengajukan gugatan terhadap Tergugat I hingga XII serta Turut Tergugat I hingga V. Tim kuasa hukum yang terdiri dari Richard William dan Elsya bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus yang ditandatangani pada tanggal 10 September 2024 dan 7 Oktober 2024.
Dalam proses mediasi, tim hukum penggugat mengajukan Resume Mediasi Perdamaian dengan menyampaikan tuduhan bahwa para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Salah satu poin penting yang diangkat adalah dugaan penerbitan produk hukum fiktif yang terkait dengan perkara Reg No. 1044 K/PID/2022 dan Reg No. 149 PK/PID/2023.
Hasil mediasi yang telah dilaksanakan akan dilanjutkan dengan mediasi rekornya pada tanggal 24 Oktober 2024. Penjadwalan mediasi ini merupakan langkah lanjutan setelah pihak kuasa hukum menyampaikan argumen yang cukup jelas dalam persidangan sebelumnya.
Dalam kesempatan mediasi yang berlangsung, majelis hakim mengungkapkan adanya kemungkinan kesalahan ketik dalam putusan yang dikeluarkan. Meskipun majelis hakim menganggap kesalahan semacam ini wajar, Richard William, kuasa hukum penggugat, menilai bahwa jika memang ada kesalahan ketik, hal tersebut berpotensi menyebabkan ketidakakuratan dalam putusan. “Jika putusan tersebut dinyatakan terbukti, hal ini bisa jadi akibat dari kesalahan ketik,” jelas bisa membatalkan putusan ungkapnya.
Tanggapan majelis hakim merujuk pada aturan SEMA Nomor 9 Tahun 1976, yang menegaskan bahwa majelis hakim tidak dapat dituntut, baik secara pidana maupun perdata, terkait putusannya. Walaupun pihak kuasa hukum sependapat dengan aturan tersebut, mereka menekankan pentingnya putusan yang diambil dengan itikad baik.
Dalam proses ini, salah satu kuasa hukum dari pihak tergugat mengklaim bahwa mereka bukan pengacara, menunjukkan adanya ketidaktahuan dalam proses hukum. Richard William menanggapi, “Legal standing sudah jelas terlihat dalam persidangan sebelumnya, dan tidak ada bantahan dari pihak lawan.”
Majelis hakim dan mediator tidak memberikan tanggapan terhadap pernyataan tersebut, menganggap bahwa isu ini sudah di luar konteks pembuktian karena legal standing telah diselesaikan.
Jika anggapan bahwa terdapat kesalahan ketik diterima, pihak kuasa hukum menyatakan bahwa kesalahan tersebut seharusnya dapat direvisi. Namun, Richard William menegaskan bahwa kesalahan yang menyangkut nama lengkap hakim dan nomor NIK tidak dapat dianggap sebagai kesalahan ketik. “Jika semua ini dianggap sebagai kesalahan ketik, maka berarti tidak ada persidangan yang terjadi,” tegasnya.
Richard juga mempertanyakan kemungkinan banyaknya kesalahan ketik, termasuk nama hakim yang menangani perkara tersebut. “Hakim tidak bisa diminta untuk merevisi namanya sendiri. Jika putusan dibiarkan tanpa koreksi, hal ini menimbulkan keraguan tentang keabsahan proses persidangan,” tambahnya.
Dengan demikian, mediasi selanjutnya diharapkan dapat memberikan kejelasan dan menyelesaikan sengketa yang ada secara adil bagi semua pihak. ( Tev )